Selasa, 23 Desember 2008

TAUHID DAN MAKNA PEMBEBASAN

Pendahuluan

Islam adalah satu-satunya agama yang dipandang dan diyakini oleh pasra pemeluknya memiliki konsep Tauhid yang paling sederhana dan paling murni. Oleh karenanya tafsiran-tafsiran terhadap konsep Tauhid ini begitu beragam. Tauhid juga digunakan okeh para filosof muslim terdahulu sebagai acuan produk filsafatnya ini bisa dicirikan dari hasil karya Ibnu Rushd yang ingin mensucikan Tuhan sesuci-sucinya/membbaskan Tuhan dari unsur makhluk, sehingga timbullah teori emanasi Ibnu Rushd. Tidak hanya itu konsep Tauhid juga dijadikan landasan pergerakan kaum peminis muslim untuk tidak tergantung pada kaum laki-laki(patiriarki).

Bisa kita lihat pengaruh Tauhid terhadap Pemikiran diatas ialah maknanya yang dapat membebaskan/membersihkan/mensucikan. Itulah makna umum yang terkandung dari konsep Tauhid. Baiklah, penyusun akan coba sajikan Tauhid seputar pemaknaannya menurut pendapat beberapa peneliti,pemerhati dan pengkaji. Penyusun akan coba sajikan produk pemikir yang mencoba mengkritisi pemikiran ulama terdahulu.

Pembahasan

Berikut ini adalah kutipan dari seorang pemikir muslim terhadap Tauhid:


”Firman Allah Ta'ala:

"Artinya : Orang-orang yang diseru oleh kaum musyrikin itu, mereka sendiri senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepadaNya), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya, sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." [Al-Isra': 57]

"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya; Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan menunjukiku (kepada jalan kebenaran)." [Az-Zukhruf: 26-27]

"Artinya : Mereka, menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka mempertuhankan pula) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka itu tiada lain hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan, tiada Sembahan yang haq selain Dia. Maha Suci Allah dari perbuatan syirik mereka." [At-Taubah: 31]

"Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..."[Al-Baqarah: 165]

Diriwayatkan dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."


Kandungan dalam tulisan ini:

[1]. Ayat dalam surah Al-Isra'. Diterangkan dalam ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang menyeru (meminta) kepada orang-orang shaleh. Maka, ayat ini mengandung sesuatu penjelasan bahwa perbuatan mereka itu syirik akbar.

[2]. Ayat dalam surah Bara'ah (At-Taubah). Diterangkan dalam ayat ini bahwa kaum Ahli Kitab telah menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan diterangkan bahwa mereka tiada lain hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan yaitu Allah. Padahal tafsiran ayat ini, yang jelas dan tidak dipermasalahkan lagi, yaitu mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah; dan maksudnya bukanlah kaum Ahli Kitab itu menyembah mereka.

Dapat diambil kesimpulan dari ayat ini bahwa tafsiran "Tauhid" dan Syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurnian ketaatan kepada Allah, dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.

[3]. Kata-kata Al-Khalil Ibrahim 'alaihissalam kepada orang-orang kafir: "Sesungguhnya aku melepaskan diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku..."

Disini beliau mengecualikan Allah dari segala sembahan. Pembebasan diri (dari segala sembahan yang bathil) dan pernyataan setia (kepada Sembahan yang haq, yaitu Allah) adalah tafsiran yang sebenarnya dari syahadat "Laa ilaha illa Allah." Allah Ta'ala berfirman: "Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya, supaya mereka kembali (kepada jalan kebenaran). (Az-Zukhruf: 28)

[4]. Ayat dalam surah Al-Baqarah yang berkenaan dengan orang-orang kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya: "Dan mereka tidak akan dapat keluar dari neraka."

Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa mereka menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan yang besar kepada Allah, akan tetapi kecintaan mereka itu belum bisa memasukkan mereka kedalam Islam. Dari ayat dalam surah Al-Baqarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa tafsiran "tauhid" dan syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurniaan kecintaan kepada Allah yang diiringi dengan rasa rendah diri dan penghambaan hanya kepada-Nya.

Lalu bagaimana dengan orang yang mencintai sembahan-nya lebih besar daripada kecintaannya kepada Allah? Kemudian, bagaimana dengan orang yang hanya mencintai sesembahan selain Allah itu saja dan tidak mencintai Allah?

[5]. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barang siapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."

Ini adalah termasuk hal terpenting yang menjelaskan pengertian "Laa ilaha illa Allah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan pula dengan mengakui kebenaran kalimat tersebut, bahkan bukan juga tidak meminta kecuali kepada Allah saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.

Sungguh agung dan penting sekali tafsiran "Tauhid" dan syahadat "Laa ilaha illa Allah" yang terkandung dalam hadits ini, sangat jelas keterangan yang dikemukakannya dan sangat meyakinkan argumentasi yang diajukan bagi orang yang menentang.

[Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H] ”

Bisa kita lihat tafsiran diatas ialah tafsiran yang menggunakan pendekatan Teologi. Yang berimplikasi pada harus murninya ibadah yang kita lakukan,dalam artian ibadah-ibadah mahdloh. Belum cukup tentunya Tauhid hanya berdimensi Ibadah Vertikal tetapi ada dimensi sosial. Olehk karenanya penyusun akan coba rangkum tulisan dari K.H husein Muhamad seputar Tauhid:

Kemerdekaan atau kebebasan dalam bahasa Arab disebut dengan al hurriyyah. Kata al hurr menurut al Raghib al Ishfahani mengandung dua arti, pertama adalah lawan dari budak dan kedua orang yang tidak dikuasai oleh sifat-sifat yang buruk dalam hal urusan duniawi.(Ashfahani, Mufradat Alfazh al Qur’an). Jadi kemerdekaan bisa menunjuk pada sesuatu yang bersifat material dan bisa immaterial. Sementara Syeikh Ali al Shabuni dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata al hurr berarti al khalish, bersih. Seseorang dikatakan hurr, jika dia terlepas atau bersih dari hal-hal yang mengotori kemanusiaannya”.(Al Shabuni, Rawai’ al Bayan, I/492). Kata al hurr disebut satu kali dalam surah al Baqarah, 178. Dari kata ini terbentuk kata al tahrir yang berarti pembebasan. Al-Qur’an menyebut kata ini dalam surah al Nisa, 92, al Maidah, 89 dan al Mujadilah, 3. Semuanya menekankan pembebasan budak. (tahrir al raqabah). Qasim Amin, tokoh feminis Mesir memberi judul buku monumentalnya dengan “Tahrir al Mar’ah” yang berarti pembebasan perempuan. Hizb al Tahrir berarti partai pembebasan.

Manusia menurut Islam adalah makhluk merdeka atau bebas pada satu sisi dan hamba pada sisi yang lain. Manusia menjadi makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya. Sementara ia adalah hamba ketika berada di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama disebut Abd Allah. Ini berarti bahwa manusia menjadi hamba atau budak hanya pada saat ia berhadapan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dan menjadi merdeka ketika berhadapan dengan manusia yang lain. Maka manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Dan manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan. Dengan begitu kemerdekaan manusia pada hakikatnya adalah konsekuensi paling logis dari ajaran atau doktrin teologi Islam yang disebut Tauhid.

Kehadiran agama Tauhid dengan sendirinya bermakna pembebasan sistem perbudakan manusia atas manusia dan pembebasan manusia dari situasi yang membelenggu dan yang menzalimi. Lebih jauh al-Qur’an menyebutkan : “yukhrijuhum min al Zhulumat ila al Nur” (Muhammad Saw, hadir untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya). Pernyataan Tuhan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memerdekakan atau membebaskan. Ini sesungguhnya ajaran paling inti dari setiap agama yang dibawa para nabi dan para pembawa misi kemanusian yang lain.

Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. Keyakinan Islam ini dipraktikkan dengan tegas oleh Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua sesudah Nabi Muhammad Saw. Ketika Abdullah, anak Gubernur Mesir ; Amr bin Ash memukul seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan : “mundzu mata ista’badtum al naas wa qad waladathum ummahatuhum ahraara” (sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka). Umar kemudian mempersilakan si petani miskin tersebut membalasnya memukul.

Kemerdekaan diberikan Tuhan kepada manusia, karena ia diberi akal. Akal adalah essensi manusia yang membedakannya dari makhluk Tuhan yang lain. Dan, karena itu, kepadanyalah Tuhan menyerahkan pengaturan dan pengelolaan dunia ini. Al-Qur’an menyebut manusia sebagai Khalifah-Nya di muka bumi. Kemerdekaan manusia meliputi kebebasan beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikan pemikirannya, kemerdekaan untuk bereksistensi dan beraktualisasi, kemerdekaan untuk berproduksi dan bereproduksi secara sehat. Ini semua adalah hak-hak fundamental manusia, apapun jenis kelaminnya dan apapun latarbelakang sosio-kulturalnya. Hal ini berarti bahwa seseorang, laki-laki maupun perempuan, tidak boleh dibatasi untuk mengekspresikan kebebasannya untuk menjadi apa dan melakukan apa saja yang dipilihnya dalam kehidupannya.

Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa beragam kemerdekaan yang diperoleh manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Dengan kata lain tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan, pengekangan dan perendahan adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri dan dengan sendirinya juga melanggar prinsip keesaan Tuhan. Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi keniscayaan pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab adalah dua sisi mata uang. Kemerdekaan seseorang selalu dibatasi oleh kemerdekaan orang lain dan oleh keterbatasan dirinya. Dari sinilah, maka setiap orang dituntut harus saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan dari kemerdekaan yang dimilikinya itu. Dari sini tampak logis pula bahwa kemerdekaan atau kebebasan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain.”

Penyusun sendiri berkeyakinan bahwa ber-Tauhid berarti juga menjadi manusia bebas. Bebas disini bukan berarti bebas berkonotasi negatif, bebas disini berarti tidak tergantung pada sesuatu yang fana. Bebas disisni juga mengandung pengertian hanya bergantung pada Tuhan yang esa. Kebebasan hakiki seorang makhluk ialah ketergantungan mutlak tehadap sang khalik. Keyakinan inilah yang sampai saat ini peyusun yakini.

Oleh karenanya praktek-praktek sosial yang dapat membuat kreatifitas kita terhambat patut ditinggalkan. Seperti terlalu rigid dan kakunya hubungan antara Guru dengan siswa. Makna seorang siswa ialah penuntut ilmu justru telah bergeser menjadi orang yang dipaksa mewadahi ilmu. Kata menuntut ilmu jelas berbeda dengan orang yang dipaksa mewadahi ilmu. Pada istilah pertama memiliki makna aktif-subjek sedangkan istiklah berikutnya memiliki makna pasif-objek. Bila kita mau mengikuti perkembangan wacana pemikiran kontemporer akan ditemukan bahwa pola-pola sikap seperti ini bermuara pada salah satunya ajaran Al-Ghazali mengenai aturan hubungan antara murid dengan guru. Penyusun akan kutip terlebih dahulu ajarannya:

“merupakan suatu keharusan bagi seorang murid untuk minta petunjuk atau bantuan kepada seorang guru yang dapat membimbingnya kejalan yang benar. Olehkarena jalan menuju kebenran (agama yang benar adalah sulit, sedang jalan menuju kejahatan setan) adalah beraneka agamdan gampang, maka bagi siapa saja yang tidak mempunyai guru yang dapat membimbingnya kejalan yang benar, dia akan dengan mudah dibimbing setan ke jalan kesesatan. Oleh karena itu, seorang murid harus setia kepada seorang gurunya seperti sibuta setia terhadap tongkat penunjuk jalannya di seberang sungai. Dia harus benar-benar percaya terhadap gurunya tidak boleh menentangnya dalam hal apappun lagipula dia harus berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar mengikuti ajarannya secara mutlak. Hendaknya dia bahwa keuntungan yang dapat diperolehdari tindak perilaku gurunya yang salah adalah lebih besar manfaatnya bagi kehidupannya,daripada manfaat yang dapat ia peroleh dari kebenaran yang ia temukan sendiri.”

Dari kutipan diatas bisa kita pahami bukan saja daya kreatifitas murid yang tumpul, tapi juga inisiatif, etos kerja. Menurut Dr. M. Amin Abdullah begitu besar dan dominannya peran guru spiritual itu membuat sufisme menjadi benar-benar pemujaan terhadap manusia, hal ini jelas-jelas mengotori Tauhid.

Penutup

Tulisan diatas yang penyusun sajikan baik itu yang dikutif maupun hasil dari komentar penyusun terhadap kutipan tidak lepas dari pemahaman penyusun yang terbatas terhada Tauhid dan Makna Pembebasan. Tapi meskipun begitu penyusun ingin sampaikan bahwa wacana pembebasan ini akan tetap aktual sampai kapan pun, karena keterbelungguan selalu menjelma dalam beragam wujudnya.

DAFTAR PUSTAKA

- Abdullah, Amin.1995M, Falsafah Kalam di Era Postmodern.Yogyakarata: Pustapelajar.

- www.rahima.or.id

- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. 1418H, "Kitab Tauhid".
Riyadh: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam.

HERMENEUTIK DAN POLEMIK YANG MENYERTAINYA

Pendahuluan

Istilah yang satu ini bisa dibilang sangat menarik perhatian para pemikir muslim. Disamping menyajikan cara pandang baru terhadap text juga menimbulkan polemik diantara sesama pemikir muslim. Ini tidak mengherankan karena tradisi hermeneutik berasal dari tradisi barat yang notabene kristen. Bagi kebanyakan Umat Islam hal ini dikategorikan penyimpangan terhadap pemaknaan text (dalam hal ini Al-Quran) karena mayoritas Umat Islam telah sepakat untuk menggunakan metodologi yang telah dibuat oleh pemikir Islam abad pertengahan. Yang dianggap telah baku da siap saji tanpa perlu verifikasi. Seolah-olah metodologi-metodologi hasil ijtihad ulama terdahulu kesakralannya melebihi Al-quran itu sendiri, sehingga tabu untuk dikritisi penafsirannya.

Lain hal dengan pemikir Islam kemudian, yang memandang perlu ada kajian-kajian kritis terhadap penafsiran pemikir terdahulu. Karena mereka yakin siapa pun tidak lepas dari kekurangan. Dengan semangat itu lalu mereka mencoba hal-hal baru yang dipandang dapat mnyegarkan pemahamn kita terhadap text supaya lebih bisa menyentuh persoalan-persoalan kontemporer yang tentunya untuk melenygkapi khajanah pemikiran ulama terdahulu dalam memaknai text. Hal ini dilakukan bukan untuk membuang pemahaman ulama terdahulu kaitannya dengan pemaknaan text tapi, lebih ke semangat melengkapi pemahaman yang telah ada. Baik itu melengkapi kekurangannya atau pun meluruskan kekeliruan ijtihad Ulama terdahulu.

Pembahasan

Sejarah Singkat Hermeneutik dan Tokoh-tokohnya

Berikut ini penyusun akan rangkum atau lebih tepatnya mengutif sejarah berikut tokoh-tokoh yang terkait dengan hermeneutik:

“Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein, harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemeberitahuan, terjemah. Ia diambil dari kata hermes, utusan para dewa dalam mitologi Yunani. Meskipun ia sendiri adalah dewa yang mempunyai peran sebagaimana dewa Mesir kuno Theth (dewa kata). Kalau dicermati lebih dalam, sebetulnya kedua dewa ini mempunyai peran yang berbeda. Dewa Theth kata-katanya bersifat naratif sedangkan Hermes bersifat formatif ilustraif. Agaknya perpaduan ini merupakan keharusan, karena makna suatu mitos terbentuk dari narasi dan forma.

Theth disebut juga juru tulis para dewa, dewa tulisan, pencipta pena dan tinta, penutur agung, penguasa tulisan dari Mesir. Ia juga kata pemula yang menyebabkan alam ini ada. Di samping itu ia berperan sebagai jaksa di pengadilan akhir hayat. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Theth adalah symbol dari kata, kata pencipta, pengatur, pemusnah alam ini sekaligus juga yang berperan mengadili. Dan karakteristik kata ini adalah samar, tidak akan pernah jelas. Sebab dengan kesamaran itu kehidupan bisa dinamis dan abadi.

Adapun Hermes adalah dewa kata yang fasih. Ia putra Zeus dan Maya. Ia adalah kata-kata yang menjadi penghubung (komunikasi) antar manusia dan manusia dengan suatu tempat. Perkataan gaya Hermes adalah perkataan yng berputar-putar antara kebenaran dan kebohongan. Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan iapun tidak berjanji bisa mengungkapkan kebenaran secara sempurna.

Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi Yunani adalah upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui ucapan-ucapan Hermes yang sifatnya sangat terbatas (tidak mutlak kebenarannya).

Berikut ini penulis akan memaparkan secara singkat perjalanan hermeneutika.

Abad Pertengahan

Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaidah-kidah unuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir dari kitab suci menjadi 4 yaitu ari tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Dan ketika Martin Luther menampilakn corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama bermuncullah karya-karya seputar kaidah-kaidah penfsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika sacra sive Methodus exponent darum sacarum literum (penafsiran kitab suci atau metode penjelasan teks-teks kitab suci) karya Dannhauuer. Dan pada abad XVIII corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi.

Schleler Marcher ( w 1843 )

Oleh Schleler Marcher, hermeneutika dibawa dari obyek wilayah ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu pengetahuan (teks secara umum). Hal ini karena pada masanya terjadi reaksi keras terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa di satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain adalah bentuk alianasi manusia di sisi lain. Bagi marcher, yang penting bukan Hegel atau Feurbagh, tapi bagaimana memahami teks keagamaan tersebut. Sebagaimana teks-teks yang lain. Dalam menafsiri teks ia tidak mencukupkan pada pendekatan filologi saja, tapi dilengkapi dengan pendekatan psikologi dan sejarah. Secara garis besar ada 2 dasar yang ditawarkan Marcher dalam menafsiri teks :

- Langkah-langkah penafsiran (hermeneutika) terhadap teks. Dan langkah ini ada dua cara, pertama intuitif struktural yang mendasarkan pada arti keseluruhan teks. Kedua adalah gramatikal historis, analitis, komparatif yang digunakan untuk mengkaji lebih dalam komponen-komponen teks

- Landasan pemahaman bahwa teks adalah sarana komunikasi antara penulis (pembuat teks) dan pembaca (penafsir teks) di satu sisi, dan di sisi lain adalah karakteristik dari pembuat teks itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah upaya untuk berpadu, menyatu rasa dengan pembuat teks dan mengira-ngira maksud dan tujuannya di satu sisi. Dan di sisi lain adalah analisa mendalam terhadap teks itu dari segi gramatika, sejarah yang dengan demikian pembaca (penafsiran) mempunyai otoritas luas untuk menafsirkan teks tersebut.

Dilthey (1833 – 1911)

Kalau Schleler Marcher tantangannya adalah Hegelisme dan Feurbaghisme, maka Dilthey adalah ilmu Fisika di satu sisi dan filsafat idealisme di sisi lain. Masa Dilthey disebut sebagai masa filsafat positivisme, yang mendasarkan kebenaran pada eksperimen dan rumus-rumus fisika. Para pengusung positivisme mencela ilmu-ilmu humaniora, karena tidak adanya kepastian rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Dan Dilthey menjawab bahwa ilmu fisika dan humaniora mempunyai perbedaan obyek, tujuan dan penggarapan. Obyek ilmu fisika adalah alam, sesuatu yang ada di luar manusia. Sementara humaniora obyeknya adalah manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, manusia adalah pengkaji dan obyek sekaligus. Sedangkan tujuan dari ilmu fisika adalah menguasai alam sementara humaniora adalah upaya memahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika lebih dekat dengat humaniora. Dan hermeneutika ala Dilthey adalah penafsiran yang mendalam terhadap teks dan bukan sekedar eksperimen atau pencarian sebab-sebab kemunculan teks.

Heidegger (1889 – 1976)

Bersama Heidegger, hermeneutika mengalami lompatan besar sebab ia mengaitkannya dengan filsafat yang dalam hal ini adalah fenomenologi. Keterkaitan ni tidak berarti obyek kajian hermeneutika adalah hal-hal yang lahiriah atau kulit kalimat. Tapi konsentrasinya justru pada perspektif kesadaran individu terhadap fenomena itu. Dan ketika obyek kajian hermeneutika adalah bahasa, sedangkan fenomenologi adalah alam maka dengan cerdas Heidegger menjelaskan bahwa bahasa adalah ekspresi dari alam. Dan oleh karena itu, penafsiran teks adalah penafsiran terhadap alam. Fungsi penafsiran teks adalah (ber)fungsinya kesadaran- kesadaran terhadap alam. Dan penafsiran teks adalah membaca bahasa alam, mendengar suaranya seakan-akan ia menjelma di hadapan penafsir.

Heidegger menegaskan bahwa penafsiran dengan cara ini (dengan hermeneutika) memang memunculkan beragamnya penafsiran, sebab :

- penafsiran hermeneutik adalah pengalaman ontologis (upaya pencarian wujud dan hakikat sesuatu). Padahal keberadaan hakikat tersebut adalah antara ada dan tiada, kesamaran dan kejelasan. Dan oleh karena itu, penafsiran hermeneutik –dengan tujuan seperti ini- harus dilakukan terus-menerus. Artinya tidak bisa diklaim bahwa suatu bentuk atau tahapan penafsiran telah menemukan hakikatnya.

- Penafsiran hermeneutik adalah penafsiran historis. Artinya pertama ia muncul pada satu titik dari rangkaian kesejarahan dan terpengaruh oleh kejadian sejarah itu. Kedua pemahaman-pemahaman yang kita daptkan dari sejarah (kejadian) senantiasa mempengaruhi pemahaman kita terhadap teks.

- Hakikat sesuatu jauh melampaui kesadaran kita, lebih panjang dari pada usia dunia, lebih komplek dari pada potongan sejarah di mana kita hidup. Dan oleh karena itu kesadaran akan sejarah (realitas) harus dilakukan terus menerus.

Gadammer (1900 - )

Teori Gadammer tentang hermeneutika melalui pendekatan seni. Ia mengatakan :" Ketika kita menemukan karya seni dengan ciri khas keindahannya bukan wujud lahirnya . Kita akan merasa bertambah asing. Sebab karya seni berkaitan dengan kenyataan (wujud karya seni tersebut) dan persepsi banyak orang sementara itu kita sendiri secara prbadi sulit untuk menerimanya ". Menanggapi kepelikan semacam ini, Gadammer menawarkan teori dekomparasi keindahan yang artinya kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa karya seni (yang dibuat di masa lalu) mempunyai sifat berkembang, aktual sampai pada masa kini. Dan dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melaui pemahaman, penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini melakukan pengembaraan untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan obyek (teks). Keserasian ini tidak berarti penafsir tergantung pada teks tapi maksudnya si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain. Meskipun Gadammer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya seni, ia tidak menafikan bentuk lahir. Sebab bentuk lahir merupakan media yang memungkinkan penafsir (dalam hal ini pengamat seni) melalui eksperimen-eksperimennnya yang terus menerus- bisa mendapatkan suatu makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya bentuk lahir, generasi mendatang bisa turut memberikan apresiasi terhadap karya seni tersebut. Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan yang dinamis, dalam arti karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan belaka, tapi juga makna terdalam yang terkandung. Juga beragamnya apresiasi, pemahaman menjadi lestari tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang penafsir tertentu.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa Gadammer –dalam hermeneutika- menawarkan tiga poros yaitu penulis (pencipta teks/sejarah/seni), penafsir dan teks dalam pengertian umum. Si penafsir bergerak merambah dari pemahaman yang ada menjelang kemunculan teks, beragamnya arti sepanjang sejarah sampai pada arti di mana penafsir hidup, dan dari penafsir mencoba menyatu rasa dengan penulis (pembuat teks). Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah penafsiran yang terus menerus dan berputar-putar antara penafsir, teks dan pembuat teks.

Jauss

Jauss sebagaimana Gadammer juga menawarkan teori dialog. Ia mempunyai 3 macam bentuk dialog pertama dialog dengan para pembaca (penafsir) teks. Kedua dialog antar teks, yaitu teks yang sedang dikaji penafsir dengan teks-teks yang lain. Ketiga dialog antara teks puitis dan teks biasa (prosa). Bagi Jauss kemunculan bahasa bukan dari interaksi individu dengan obyek, tapi interaksi antara individu dengan individu yang lain. Dan pengertian "faham" bukan monologis ( bagaimana kita memahami suatu obyek) tapi dialogis (sharing pengertian antara individu dengan individu lain terhadap suatu obyek). Dan dengan demikian, di hadapan teks kita tidak dalam posisi tersandera tapi justru sebagai tuan yang mempunyai otoritas untuk menguasai teks.

Paul Ricoeur

Sebagaimana Michael Faucoult dan Jack Derrida, pengaruh ricoeur tidak hanya pada bidang sastra dan filsafat saja. Tapi merambah ke sejarah, agama, politik, mitologi, ideology dan lain-lain. Demikian juga ia juga berdialog, berinteraksi dengan disiplin-disipli ilmu lain seperti faham-faham filsafat, psikologi, sosial. Bagi Ricoeur hermeneutika bukanlah metode yang bertentangan dengan disiplin ilmu lain tapi justru sebagai penyerap, pengkritik dan bisa membuat ilmu-ilmu lain menjadi jaya. Bersama analisa psikologik misalnya kita dalam menafsirkan suatu teks berangkat dari pemahaman awal, keadaan alam bawah sadar kita yang tersembunyi di balik fenomena. Suatu keadaan di mana kita belum terpengaruh oleh fenomena di luar kita. Dan dengan analisa fenomenologik penafsir hermeneutik menunjukkan bagaimana super ego kita memahami fenomena (teks) di hadapan kita. Hermenutika dalam menafsiri fenomena melalui 2 media, yaitu simbol dan kesadaran. Kesadaran dalam Hermeneutika bukan hal yang mutlak tapi penting. Sebab hermeneutika memandang kesadaran adalah palsu pada mulanya. Dan oleh karena itu harus dilanjutkan dengan memikirkan, memahami simbol-simbol dan dilakukan terus-menerus supaya teruji dan kepalsuan itu relatif berkurang. Puncak kesadaran yang dicapai hermeneutic bukan pengetahuan (kebenaran) yang mutlak tapi upaya yang terus menerus dan terus menyisakan pemahaman yang baru lagi.

Berbeda dengan fenomenologi Herschell dan Cogito Decart, Riceour memandang bahwa hakikat sesuatu tidak diperoleh dengan bagaimana fenomena itu menampakkan pada kita, atau hanya dengan sekedar memikirkannya, tapi bagaimana kita membaca, memahami symbol-simbol dari sesuatu tersebut. Dengan demikian, dalam hermenutika (penafsiran teks) Ricouer tidak mengesampingkan symbol dan struktur teks tersebut. Meskipun demikian, struktur menurutya hanya satu tahapan dari tahapan hermeneutika. Struktur hanya pembuka dari upaya penafsiran hermeneutic. Teks tidak bisa dipahami secara sempurna dengan teori strukturalisme sebagus apapun teori itu. Dengan demikian, struktur bukan puncak dari penafsiran hermeneutic tapi hanya tahapan awal.

Berkait dengan semiotika, Ricouer menganggap bahwa penafsiran teks harus bergerak dari keasadaran penuh akan tahapan semiotic (simbol) suatu teks menuju tahapan bahwa teks tersebut mempunyai arti dan kandungan makna. Kalau semiotika bercirikan teks yang formil dan sederhana, maka hermeneutika lebih jauh dan lebih dalam dari pada itu, yaitu kedalaman makna.

Dan kalau dekonstruksi Michel Foucoult memporak porandakan makna suatu teks, maka hermenutika justru mencari nilai terdalam yang terkandung dalam teks. Relativitas teks bukan pada factor yang menyebabkan berbedanya arti dalam suatu teks, tapi pada upaya unifikasi makna mengingat perbedaan pengalaman dan faktor-faktor lain.”

Selain sejarah singkat diatas hermeneutik juga dikenal sebagai pisau analisis untuk menafsirkan injil ini bisa dilihat dari mulai dibakukannya istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami sutu pesan atau teks, baru terjadi pada sekitar abad ke-18 M, menyusul terjadinya gerakan reformasi yang dicetuskan oleh Marthin Luther di Jerman. Ia—sebagai tokoh Protestan—menolak klaim otoritas gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci.

Berbagai Tanggapan Dari?

Melihat sejarah singkat dari Hermeneutik itu sendiri maka menjadi pantas ada komentar-komentar bernada sinis terhadap hermeneutik karena pasalnya dengan hermeneuik Al-quan dipandang sama dengan text-text duniawi lainnya. Padahal, kita sebagai umat Islam mengimani bahwa Al-quan adalah kalam ilahi yang terbebas dari segala ketidaksempurnaan sebagaimana text-text duniawi lainnya yang tentunya tidak lepas dari segala kekurangannya. Alasan-alasan penolakan mereka terhadap hermeneutik tidak berhenti sampai disitu penyusun akan kutif ayat dan hadits yang menjadi uzlah mereka,diantaranya:

Hai orang-orang yang beriman, jangan-lah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan dengarlah oleh kalian! Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.( QS. Al-Baqarah [2] : 104)

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Shahih Muslim bab fi annal-isnad minad-din no. 26)

Tentunya tidak hanya perspektif miring yang ditimbulkan hermeneutik kaitannya dengan pemaknaan text Al-quran,tetapi tidak sedikit pemikir muslim yang memberikan apresiasi positif terhadap hermeneutik kaitannya terhadap pemaknaan text Al-quran. Diantara pemikir-pemikir itu ialah Mouhamed Arkoun, Hasan Hanafi, Mouhamed Syahrur dll. Mereka berusaha mengawinkan metode hermeneutik dengan Al-Quran. Bagi syahrur sinonimitas terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam text Al-quran seperti al-kitab,al-Quran,al-Furqan,al-Dzikr yang selama ini ditafsirkan sebagai kitab suci umat Islam(hasil dari metode penafsiran pemikir terdahulu), berarti mereduksi istilah-istilah kunci yang terdapat dalam al-Quran. Demikian, salah satu produk dari pemikiran syahrur menggunakan metoda hermeneutik al-Quran(untuk lebih jelasnya bisa dibaca dalam bukunya Muhamad Syahrur yang berjudul Prinsif dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer yang ditulis oleh Muhamad Syahrur; penyusun tidak dapat lebih jelas membahas ini tentunya karena keterbatasan perangkat ilmu untuk memahaminya).

Penutup

Itulah dua perspektif yang dapat penyusun sajikan, bukan untuk membenarkan salah satu pandangan, tapi hanya menyajikan dua pandangan yag berbeda. Hal ini dikarenakan kapasitas penyusun yang masih dalam tahap belajar. Dua perspektip diatas bukan untuk kita hujat salah satunya tapi lebih kita pandang sebagai perbedaan yang membawa rahmat. Rahmat itu bisa berupa berkembangnya tradisi keilmuan dalam khajanah pemikiran umat Islam, sehingga kebangkitan Islam menjadi sebuah keniscayaan.

Referensi.

- fai.elcom.umy.ac.id

- QS. Al-Baqarah [2] : 104

- Syahrur, Muhamad. 2004, Prinsif dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer. Yogyakarta:Elsaq Press.

Kamis, 18 Desember 2008

KEBIJAKAN POLITIK UMAR BIN ABDUL AZIZ



disusun oleh : Andri Prayoga
208100178
Ushuludin

Pendahuluan
Umar bin abdul aziz kiprahnya dalam memimpin umat patut dicontoh. Dialah salah satu khalifah dinasti Umayah yang dianggap memberi kontribusi paling besar pada umat dimasanya. Bahkan, banyak pengamat memberi ulasan tentang kehidupan beliau dan tidak tanggung-tanggung mereka menobatkan Umar bin Abdul Aziz sebagai Rahmat bagi Seluruh Alam. Patutlah kita bertanya , “apa yang telah Beliau lakukan,sehingga penghormatan begitu deras mengalir padanya?”
Tidak hanya ditataran wacana Politik beliau diperbincangkan, bahkan para fukoha pun berbeda pandangan tentang masuknya Umar bin Abdul Aziz di Zona mulia yang kita kenal dengan term “khulafa al-rasydun” . Kita mengenal khulafa al-rasydun berjumlah empat yaitu:Abu Bakar,Umar bin Khatab,Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Sedangkan, al-Hamdani dalam kitabnya(Syahr Ushul al-Khamsat) menginformasikan pendapat Mu’tazilah mengenai cakupan al-Khulafa al-Rasydun itu ada lima :Abu Bakar ra., Umar ra,Utsman ra., Ali ra., dan Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Tidak hanya al-Hamdani yang menggolongkan Umar bin Abdul Aziz pada cakupan al-Khulafa al-Rasydun,Sufyan al-Tsauri dan Ibn al-Musyayab pun juga. Sufyan al-Tsury berpendapat bahwa khalifah yang rasydun itu lima: Abu Bakar ra., Umar ra,Utsman ra., Ali ra., dan Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Dan, Ibn al-Musayyab berpendapat bahwa khalifah yang rasydun itu ada tiga: Abu Bakar ra.,Umar ra., dan Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Kiranya fakta diatas cukup untuk membuat kita bertanya, “ada apa dengan Umar bin Abdul Aziz?”sehingga sebagian fukoha menggolongkannya pada wilayah yang kedudukannya setingkat dibawah Rasul yaitu Khulafa al-Rasydun,/a’immat al-huda/a’immat al-adl. Term-term yang baru saja penyusun tulis adalah term yang berbeda-beda tetapi memiliki arti sama. Term ini masuk pada “fase khilafah dan Rahmah” (setingkat dibawah fase kenabian) sebagai mana tersebut dalam hadits berikut ini : “sesungguhnya fase awal agama kalian dimulai dengan fase kenabian dan rahmah;setelah itu fase khilafah dan rahmah;tetapi kemudian menjadi kerajaan yang penuh dengan pemaksaan”(diriwayatkan oleh Imam al-Bazzar dari Ibnal-Jarah).

Pembahasan
Disini penyusun kiranya tak perlu panjang lebar lagi men-syarah-kan tentang bani Umayah sampai masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz,cukuplah pada poin-poin penting diantar kebijakan yang beliau lakukan pada masanya,yaitu:
1. Menolak fasilitas kekhalifahan untuk dirinya yang dianggapnya berlebihan.Para petugas kekhalifahan yang hendak mengawalnya dengan kendaraan khususmendapatkan sesuatu yang di luar dugaan. Umar menolak kendaraan dinas, danmeminta kepada salah seorang di antara mereka untuk mendatangkan binatangtunggangannya.Al-Hakam bin Umar mengisahkan, "Saya menyaksikan para pengawal datang dengankendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkatmenjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, 'Bawa kendaraan itu ke pasar danjuallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik
kendaran ini saja (hewan tunggangannya)
2. Menerapkan pola hidup sederhana, khususnya untuk diri dan keluarganya. Yunusbin Abi Syaib berkata, "Sebelum menjadi Khalifah tali celananya masuk ke dalamperutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi Khalifah, dia sangat kurus.Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pastisaya bisa menghitungnya."Hal senada diungkapkan putranya, Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ketikaditanya oleh Abu Ja'far al-Manshur perihal jumlah kekayaan ayahnya. Ja'farbertanya, "Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?" AbdulAziz menjawab, "Empat puluh ribu dinar." Ja'far bertanya lagi, "Lalu berapakekayaan ayahmu saat meninggal dunia?" Jawab Abdul Aziz, "Empat ratus dinar.Itu pun kalau belum berkurang."
3. Menghapuskan hak-hak istimewa yang diberikan kepada keluarganya. Umarmengumpulkan Bani Marwan dan berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. memilikitanah fadak, dan dari tanah itu dia memberikan nafkah kepada keluarga BaniHasyim. Dan dari tanah itu pula Rasulullah Saw. mengawinkan gadis-gadis dikalangan mereka. Suatu saat, Fathimah memintanya untuk mengambil sebagian darihasil tanah itu, tapi Rasulullah Saw. menolaknya.Demikian pula yang dilakukan Abu Bakar Ra. dan Umar Ra. Kemudian harta itudiambil oleh Marwan dan kini menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Maka sayamemandang bahwa suatu perkara yang dilarang Rasulullah Saw. melarangnya untukFathimah adalah bukan menjadi hakku. Saya menyatakan kesaksian di hadapankalian semua, bahwa saya telah mengembalikan tanah tersebut sebagaimana padazaman Rasulullah Saw." (Kisah ini diriwayatkan dari Mughirah).
4. Mengembalikan harta kekayaan yang dimilikinya dan keluarganya kepada Baitul Maal. Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz memanggil istrinya, Fathimah binti AbdulMalik yang memiliki banyak perhiasan berupa intan dan mutiara, "Wahai istriku,pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan-perhiasan ini ke Baitul Maal ataukamu izinkan saya meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku,kamu, dan perhiasan ini berada dalam satu rumah." Fathimah menjawab, "Sayamemilih kamu daripada perhiasan-perhiasan ini. Bahkan bila lebih dari itu punaku tetap memilih kamu."
5. Mengangkat orang-orang saleh di jajaran pemerintahannya. Setelah mencopotKhalid sebagai pengawal kekhalifahan lantaran telah menghukum orang tidaksesuai dengan kesalahannya, Umar bin Abdul Aziz meminta 'Amr bin Muhajir untukmenjadi salah seorang pengawalnya. Umar berkata, "Wahai 'Amr, engkau tahu bahwaantara saya dan kamu tidak ada hubungan kekerabatan, kecuali kerabat dalamIslam. Namun, saya mendengar bahwa kamu banyak membaca ayat-ayat Al-Qur`an, dansaya melihat kamu melakukan shalat di suatu tempat yang kamu kira tidak adaseorang pun yang dapat melihatmu. Saya melihat kamu melakukan shalat denganbaik. Dan kamu adalah salah seorang dari golongan Anshar. Ambillah pedang inidan sejak saat ini kau kuangkat sebagai pengawalku."
6. Menolak suap dalam bentuk apa pun. 'Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu saatUmar bin Abdul Aziz ingin makan apel, kemudian salah seorang anggotakeluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar berkata, "Alangkah harumaromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikansalam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai."'Amr bin Muhajir mempertanyakan sikap Umar tersebut, "Wahai Amirul Mukminin,orang yang memberi hadiah apel itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan salahseorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat denganmu.Bukankah Rasulullah Saw. juga menerima hadiah yang diberikan orang lainkepadanya?"Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang diberikankepada Rasulullah Saw. adalah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikankepadaku ini adalah suap."
7. Menolak sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun-temurun. Ja'unahmengatakan, suatu ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz, putranya,meninggal dunia. Umar memujinya. Lalu Ja'unah bertanya kepada Umar, "Apakahjika dia masih hidup, kamu akan mewasiatkan agar dia menjadi penggantimu?"Umar menjawab, "Tidak." "Lalu mengapa kamu memujinya?" tanya Ja'unah lagi. "Karena saya khawatir, bila saya mengangkatnya, dia akan dihormati lantaranayahnya dihormati," jawab Umar. 8. Menghapuskan budaya materialistik di kalangan pejabat. Putra Umar bin AbdulAziz yang bernama Abdul Aziz mengisahkan, beberapa orang bawahan Umar menulissurat kepadanya. Di antara isi suratnya berbunyi, "Sesungguhnya kota telahrusak. Jika Amirul Mukminin memberikan kepada kami sejumlah uang agar kamimemperbaiki kota itu, maka kami akan melakukannya." Umar membalas surat itu,"Jika kamu membaca surat ini, maka jangalah kota itu dengan cara kamu berlakuadil dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman. Karena itulah sebenar-benarperbaikan."
9. Melakukan amar ma'ruf nahi munkar secara bijaksana. Suatu ketika Abdul Malikbin Umar bin Abdul Aziz, salah seorang putra Umar, menemui ayahnya, danberkata, "Wahai Amirul Mukminin, jawaban apa yang engkau persiapkan di hadapanAllah Swt. di hari Kiamat nanti, seandainya Allah menanyakan kepadamu, 'Mengapaengkau melihat bid'ah, tapi engkau tidak membasminya, dan engkau melihatSunnah, tapi engkau tidak menghidukannya di tengah-tengah masyarakat?'"Umar menjawab, "Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepadamu dan semogaAllah memberimu ganjaran atas kebaikanmu. Wahai anakku, sesungguhnya kaummumelakukan perbuatan dalam agama ini sedikit demi sedikit. Jika aku melakukanpembasmian terhadap apa yang mereka lakukan, maka aku tidak merasa aman bahwatindakanku itu akan menimbulkan bencana dan pertumpahan darah, serta merekaakan menghujatku. Demi Allah, hilangnya dunia bagiku jauh lebih ringan daripadamunculnya pertumpahan darah yang disebabkan oleh tindakanku. Ataukah kamu tidakrela jika datang suatu masa, dimana ayahmu mampu membasmi bid'ah danmenghidupkan Sunnah?"
10. Menegakkan keadilan dan mengabdikan diri untuk menyejahterakan umat. TekadUmar bin Abdul Aziz untuk menyejahterakan rakyatnya dan menegakkan keadilanadalah prioritas utama. Fathimah binti Abdul Malik, istrinya, pernah menemuinyasedang menangis di tempat shalatnya. Lalu istrinya berusaha membesarkanhatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, "Wahai Fathimah, sesungguhnya sayamemikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan sayamemikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dantersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yangtersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing dan tertawan dalamperbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tapihartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosoknegeri. Saya tahu dan sadar bahwa Rabbku kelak akan menanyakan hal ini di hariKiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapanRabbku. Itulah yang membuatku menangis."
11. Melestarikan lingkungan hidup. Jisr al-Qashshab berkata, "Saya melihatserigala dan kambing hidup damai di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalusaya katakan, 'Subhanallah! Ternyata serigala sama sekali tidak berbahayaberada di tengah-tengah kambing?'"Secara tekstual, pernyataan Jisr al-Qashshab ini memberikan pemahaman kepadakita bahwa Umar bin Abdul Aziz benar-benar memperhatikan aspek lingkunganhidup, dimana semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan mendapatkankeadilan. Karena hutan dilestarikan, maka binatang-binatang liar sepertiserigala tak perlu turun ke desa untuk mencari mangsa. Hewan-hewan tersebuttelah mendapatkan segala apa yang dibutuhkan.
12. Menolak Nepotisme. Al-Azwa'i menceritakan suatu ketika Umar bin Abdul Azizduduk di rumahnya bersama para pembesar Bani Umayyah. Umar berkata, "Sukakahjika kalian aku jadikan salah seorang pemimpin pasukan?" Mereka menjawab,"Mengapa kau tawarkan kepada kami sesuatu yang kamu sendiri tidakmengerjakannya?" Umar berkata, "Tidakkah kalian melihat hamparan tempat sayakini berada? Sesungguhnya saya menyadari sepenuhnya bahwa ia akan hancur dansirna. Dan saya tidak suka bila tempat ini dikotori oleh kaki-kaki kalian. Lalubagaimana mungkin akan saya jadikan kalian sebagai pemimpin dan pengawasorang-orang. Tidak mungkin. Dan jangan harap itu terjadi." Para pembesar itu berkata, "Mengapa tidak? Bukankah kita memiliki hubungankerabat? Bukankah kita juga berhak?" Umar berkata, "Antara kamu sekalian dan orang yang berada jauh di ujung duniadalam pandanganku adalah sama. Tidak ada bedanya."
13. Menghukum orang sesuai dengan kesalahannya
Penutup
Selain kebijakan-kebijakan Beliau yang memaslahatkan Umat beliau juga dikenal dengan pemahaman agamanya yang mendalam,sehingga beliau diberi gelar al-fahmu ad-daqiq. Sampai-sampai Maimun bin Mahran berkata, "Para ulama di hadapan Umar bin Abdul Aziz adalah murid-muridnya." Cukup ternglah buat kita bahwa tidak berlibihan Umar diberi gelar-gelar penghormatan karena apa yang telah Beliau lakukan, terlepas dari perbedaan pendapat diantar para ahli tadi.

Referensi
- Mubarok, jaih.2008. Sejarah Peradaban Islam.Bandung: Pustaka Islamika
- Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Ummayah II di Cordoba, Jakarta:Bulan Bintang, 1977
0 komentar