Selasa, 23 Desember 2008

HERMENEUTIK DAN POLEMIK YANG MENYERTAINYA

Pendahuluan

Istilah yang satu ini bisa dibilang sangat menarik perhatian para pemikir muslim. Disamping menyajikan cara pandang baru terhadap text juga menimbulkan polemik diantara sesama pemikir muslim. Ini tidak mengherankan karena tradisi hermeneutik berasal dari tradisi barat yang notabene kristen. Bagi kebanyakan Umat Islam hal ini dikategorikan penyimpangan terhadap pemaknaan text (dalam hal ini Al-Quran) karena mayoritas Umat Islam telah sepakat untuk menggunakan metodologi yang telah dibuat oleh pemikir Islam abad pertengahan. Yang dianggap telah baku da siap saji tanpa perlu verifikasi. Seolah-olah metodologi-metodologi hasil ijtihad ulama terdahulu kesakralannya melebihi Al-quran itu sendiri, sehingga tabu untuk dikritisi penafsirannya.

Lain hal dengan pemikir Islam kemudian, yang memandang perlu ada kajian-kajian kritis terhadap penafsiran pemikir terdahulu. Karena mereka yakin siapa pun tidak lepas dari kekurangan. Dengan semangat itu lalu mereka mencoba hal-hal baru yang dipandang dapat mnyegarkan pemahamn kita terhadap text supaya lebih bisa menyentuh persoalan-persoalan kontemporer yang tentunya untuk melenygkapi khajanah pemikiran ulama terdahulu dalam memaknai text. Hal ini dilakukan bukan untuk membuang pemahaman ulama terdahulu kaitannya dengan pemaknaan text tapi, lebih ke semangat melengkapi pemahaman yang telah ada. Baik itu melengkapi kekurangannya atau pun meluruskan kekeliruan ijtihad Ulama terdahulu.

Pembahasan

Sejarah Singkat Hermeneutik dan Tokoh-tokohnya

Berikut ini penyusun akan rangkum atau lebih tepatnya mengutif sejarah berikut tokoh-tokoh yang terkait dengan hermeneutik:

“Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein, harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemeberitahuan, terjemah. Ia diambil dari kata hermes, utusan para dewa dalam mitologi Yunani. Meskipun ia sendiri adalah dewa yang mempunyai peran sebagaimana dewa Mesir kuno Theth (dewa kata). Kalau dicermati lebih dalam, sebetulnya kedua dewa ini mempunyai peran yang berbeda. Dewa Theth kata-katanya bersifat naratif sedangkan Hermes bersifat formatif ilustraif. Agaknya perpaduan ini merupakan keharusan, karena makna suatu mitos terbentuk dari narasi dan forma.

Theth disebut juga juru tulis para dewa, dewa tulisan, pencipta pena dan tinta, penutur agung, penguasa tulisan dari Mesir. Ia juga kata pemula yang menyebabkan alam ini ada. Di samping itu ia berperan sebagai jaksa di pengadilan akhir hayat. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Theth adalah symbol dari kata, kata pencipta, pengatur, pemusnah alam ini sekaligus juga yang berperan mengadili. Dan karakteristik kata ini adalah samar, tidak akan pernah jelas. Sebab dengan kesamaran itu kehidupan bisa dinamis dan abadi.

Adapun Hermes adalah dewa kata yang fasih. Ia putra Zeus dan Maya. Ia adalah kata-kata yang menjadi penghubung (komunikasi) antar manusia dan manusia dengan suatu tempat. Perkataan gaya Hermes adalah perkataan yng berputar-putar antara kebenaran dan kebohongan. Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan iapun tidak berjanji bisa mengungkapkan kebenaran secara sempurna.

Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi Yunani adalah upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui ucapan-ucapan Hermes yang sifatnya sangat terbatas (tidak mutlak kebenarannya).

Berikut ini penulis akan memaparkan secara singkat perjalanan hermeneutika.

Abad Pertengahan

Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaidah-kidah unuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir dari kitab suci menjadi 4 yaitu ari tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Dan ketika Martin Luther menampilakn corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama bermuncullah karya-karya seputar kaidah-kaidah penfsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika sacra sive Methodus exponent darum sacarum literum (penafsiran kitab suci atau metode penjelasan teks-teks kitab suci) karya Dannhauuer. Dan pada abad XVIII corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi.

Schleler Marcher ( w 1843 )

Oleh Schleler Marcher, hermeneutika dibawa dari obyek wilayah ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu pengetahuan (teks secara umum). Hal ini karena pada masanya terjadi reaksi keras terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa di satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain adalah bentuk alianasi manusia di sisi lain. Bagi marcher, yang penting bukan Hegel atau Feurbagh, tapi bagaimana memahami teks keagamaan tersebut. Sebagaimana teks-teks yang lain. Dalam menafsiri teks ia tidak mencukupkan pada pendekatan filologi saja, tapi dilengkapi dengan pendekatan psikologi dan sejarah. Secara garis besar ada 2 dasar yang ditawarkan Marcher dalam menafsiri teks :

- Langkah-langkah penafsiran (hermeneutika) terhadap teks. Dan langkah ini ada dua cara, pertama intuitif struktural yang mendasarkan pada arti keseluruhan teks. Kedua adalah gramatikal historis, analitis, komparatif yang digunakan untuk mengkaji lebih dalam komponen-komponen teks

- Landasan pemahaman bahwa teks adalah sarana komunikasi antara penulis (pembuat teks) dan pembaca (penafsir teks) di satu sisi, dan di sisi lain adalah karakteristik dari pembuat teks itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah upaya untuk berpadu, menyatu rasa dengan pembuat teks dan mengira-ngira maksud dan tujuannya di satu sisi. Dan di sisi lain adalah analisa mendalam terhadap teks itu dari segi gramatika, sejarah yang dengan demikian pembaca (penafsiran) mempunyai otoritas luas untuk menafsirkan teks tersebut.

Dilthey (1833 – 1911)

Kalau Schleler Marcher tantangannya adalah Hegelisme dan Feurbaghisme, maka Dilthey adalah ilmu Fisika di satu sisi dan filsafat idealisme di sisi lain. Masa Dilthey disebut sebagai masa filsafat positivisme, yang mendasarkan kebenaran pada eksperimen dan rumus-rumus fisika. Para pengusung positivisme mencela ilmu-ilmu humaniora, karena tidak adanya kepastian rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Dan Dilthey menjawab bahwa ilmu fisika dan humaniora mempunyai perbedaan obyek, tujuan dan penggarapan. Obyek ilmu fisika adalah alam, sesuatu yang ada di luar manusia. Sementara humaniora obyeknya adalah manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, manusia adalah pengkaji dan obyek sekaligus. Sedangkan tujuan dari ilmu fisika adalah menguasai alam sementara humaniora adalah upaya memahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika lebih dekat dengat humaniora. Dan hermeneutika ala Dilthey adalah penafsiran yang mendalam terhadap teks dan bukan sekedar eksperimen atau pencarian sebab-sebab kemunculan teks.

Heidegger (1889 – 1976)

Bersama Heidegger, hermeneutika mengalami lompatan besar sebab ia mengaitkannya dengan filsafat yang dalam hal ini adalah fenomenologi. Keterkaitan ni tidak berarti obyek kajian hermeneutika adalah hal-hal yang lahiriah atau kulit kalimat. Tapi konsentrasinya justru pada perspektif kesadaran individu terhadap fenomena itu. Dan ketika obyek kajian hermeneutika adalah bahasa, sedangkan fenomenologi adalah alam maka dengan cerdas Heidegger menjelaskan bahwa bahasa adalah ekspresi dari alam. Dan oleh karena itu, penafsiran teks adalah penafsiran terhadap alam. Fungsi penafsiran teks adalah (ber)fungsinya kesadaran- kesadaran terhadap alam. Dan penafsiran teks adalah membaca bahasa alam, mendengar suaranya seakan-akan ia menjelma di hadapan penafsir.

Heidegger menegaskan bahwa penafsiran dengan cara ini (dengan hermeneutika) memang memunculkan beragamnya penafsiran, sebab :

- penafsiran hermeneutik adalah pengalaman ontologis (upaya pencarian wujud dan hakikat sesuatu). Padahal keberadaan hakikat tersebut adalah antara ada dan tiada, kesamaran dan kejelasan. Dan oleh karena itu, penafsiran hermeneutik –dengan tujuan seperti ini- harus dilakukan terus-menerus. Artinya tidak bisa diklaim bahwa suatu bentuk atau tahapan penafsiran telah menemukan hakikatnya.

- Penafsiran hermeneutik adalah penafsiran historis. Artinya pertama ia muncul pada satu titik dari rangkaian kesejarahan dan terpengaruh oleh kejadian sejarah itu. Kedua pemahaman-pemahaman yang kita daptkan dari sejarah (kejadian) senantiasa mempengaruhi pemahaman kita terhadap teks.

- Hakikat sesuatu jauh melampaui kesadaran kita, lebih panjang dari pada usia dunia, lebih komplek dari pada potongan sejarah di mana kita hidup. Dan oleh karena itu kesadaran akan sejarah (realitas) harus dilakukan terus menerus.

Gadammer (1900 - )

Teori Gadammer tentang hermeneutika melalui pendekatan seni. Ia mengatakan :" Ketika kita menemukan karya seni dengan ciri khas keindahannya bukan wujud lahirnya . Kita akan merasa bertambah asing. Sebab karya seni berkaitan dengan kenyataan (wujud karya seni tersebut) dan persepsi banyak orang sementara itu kita sendiri secara prbadi sulit untuk menerimanya ". Menanggapi kepelikan semacam ini, Gadammer menawarkan teori dekomparasi keindahan yang artinya kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa karya seni (yang dibuat di masa lalu) mempunyai sifat berkembang, aktual sampai pada masa kini. Dan dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melaui pemahaman, penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini melakukan pengembaraan untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan obyek (teks). Keserasian ini tidak berarti penafsir tergantung pada teks tapi maksudnya si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain. Meskipun Gadammer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya seni, ia tidak menafikan bentuk lahir. Sebab bentuk lahir merupakan media yang memungkinkan penafsir (dalam hal ini pengamat seni) melalui eksperimen-eksperimennnya yang terus menerus- bisa mendapatkan suatu makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya bentuk lahir, generasi mendatang bisa turut memberikan apresiasi terhadap karya seni tersebut. Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan yang dinamis, dalam arti karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan belaka, tapi juga makna terdalam yang terkandung. Juga beragamnya apresiasi, pemahaman menjadi lestari tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang penafsir tertentu.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa Gadammer –dalam hermeneutika- menawarkan tiga poros yaitu penulis (pencipta teks/sejarah/seni), penafsir dan teks dalam pengertian umum. Si penafsir bergerak merambah dari pemahaman yang ada menjelang kemunculan teks, beragamnya arti sepanjang sejarah sampai pada arti di mana penafsir hidup, dan dari penafsir mencoba menyatu rasa dengan penulis (pembuat teks). Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah penafsiran yang terus menerus dan berputar-putar antara penafsir, teks dan pembuat teks.

Jauss

Jauss sebagaimana Gadammer juga menawarkan teori dialog. Ia mempunyai 3 macam bentuk dialog pertama dialog dengan para pembaca (penafsir) teks. Kedua dialog antar teks, yaitu teks yang sedang dikaji penafsir dengan teks-teks yang lain. Ketiga dialog antara teks puitis dan teks biasa (prosa). Bagi Jauss kemunculan bahasa bukan dari interaksi individu dengan obyek, tapi interaksi antara individu dengan individu yang lain. Dan pengertian "faham" bukan monologis ( bagaimana kita memahami suatu obyek) tapi dialogis (sharing pengertian antara individu dengan individu lain terhadap suatu obyek). Dan dengan demikian, di hadapan teks kita tidak dalam posisi tersandera tapi justru sebagai tuan yang mempunyai otoritas untuk menguasai teks.

Paul Ricoeur

Sebagaimana Michael Faucoult dan Jack Derrida, pengaruh ricoeur tidak hanya pada bidang sastra dan filsafat saja. Tapi merambah ke sejarah, agama, politik, mitologi, ideology dan lain-lain. Demikian juga ia juga berdialog, berinteraksi dengan disiplin-disipli ilmu lain seperti faham-faham filsafat, psikologi, sosial. Bagi Ricoeur hermeneutika bukanlah metode yang bertentangan dengan disiplin ilmu lain tapi justru sebagai penyerap, pengkritik dan bisa membuat ilmu-ilmu lain menjadi jaya. Bersama analisa psikologik misalnya kita dalam menafsirkan suatu teks berangkat dari pemahaman awal, keadaan alam bawah sadar kita yang tersembunyi di balik fenomena. Suatu keadaan di mana kita belum terpengaruh oleh fenomena di luar kita. Dan dengan analisa fenomenologik penafsir hermeneutik menunjukkan bagaimana super ego kita memahami fenomena (teks) di hadapan kita. Hermenutika dalam menafsiri fenomena melalui 2 media, yaitu simbol dan kesadaran. Kesadaran dalam Hermeneutika bukan hal yang mutlak tapi penting. Sebab hermeneutika memandang kesadaran adalah palsu pada mulanya. Dan oleh karena itu harus dilanjutkan dengan memikirkan, memahami simbol-simbol dan dilakukan terus-menerus supaya teruji dan kepalsuan itu relatif berkurang. Puncak kesadaran yang dicapai hermeneutic bukan pengetahuan (kebenaran) yang mutlak tapi upaya yang terus menerus dan terus menyisakan pemahaman yang baru lagi.

Berbeda dengan fenomenologi Herschell dan Cogito Decart, Riceour memandang bahwa hakikat sesuatu tidak diperoleh dengan bagaimana fenomena itu menampakkan pada kita, atau hanya dengan sekedar memikirkannya, tapi bagaimana kita membaca, memahami symbol-simbol dari sesuatu tersebut. Dengan demikian, dalam hermenutika (penafsiran teks) Ricouer tidak mengesampingkan symbol dan struktur teks tersebut. Meskipun demikian, struktur menurutya hanya satu tahapan dari tahapan hermeneutika. Struktur hanya pembuka dari upaya penafsiran hermeneutic. Teks tidak bisa dipahami secara sempurna dengan teori strukturalisme sebagus apapun teori itu. Dengan demikian, struktur bukan puncak dari penafsiran hermeneutic tapi hanya tahapan awal.

Berkait dengan semiotika, Ricouer menganggap bahwa penafsiran teks harus bergerak dari keasadaran penuh akan tahapan semiotic (simbol) suatu teks menuju tahapan bahwa teks tersebut mempunyai arti dan kandungan makna. Kalau semiotika bercirikan teks yang formil dan sederhana, maka hermeneutika lebih jauh dan lebih dalam dari pada itu, yaitu kedalaman makna.

Dan kalau dekonstruksi Michel Foucoult memporak porandakan makna suatu teks, maka hermenutika justru mencari nilai terdalam yang terkandung dalam teks. Relativitas teks bukan pada factor yang menyebabkan berbedanya arti dalam suatu teks, tapi pada upaya unifikasi makna mengingat perbedaan pengalaman dan faktor-faktor lain.”

Selain sejarah singkat diatas hermeneutik juga dikenal sebagai pisau analisis untuk menafsirkan injil ini bisa dilihat dari mulai dibakukannya istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami sutu pesan atau teks, baru terjadi pada sekitar abad ke-18 M, menyusul terjadinya gerakan reformasi yang dicetuskan oleh Marthin Luther di Jerman. Ia—sebagai tokoh Protestan—menolak klaim otoritas gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci.

Berbagai Tanggapan Dari?

Melihat sejarah singkat dari Hermeneutik itu sendiri maka menjadi pantas ada komentar-komentar bernada sinis terhadap hermeneutik karena pasalnya dengan hermeneuik Al-quan dipandang sama dengan text-text duniawi lainnya. Padahal, kita sebagai umat Islam mengimani bahwa Al-quan adalah kalam ilahi yang terbebas dari segala ketidaksempurnaan sebagaimana text-text duniawi lainnya yang tentunya tidak lepas dari segala kekurangannya. Alasan-alasan penolakan mereka terhadap hermeneutik tidak berhenti sampai disitu penyusun akan kutif ayat dan hadits yang menjadi uzlah mereka,diantaranya:

Hai orang-orang yang beriman, jangan-lah kamu katakan (kepada Muhammad): “Râ’inâ”, tetapi katakanlah: “Unzhurnâ”, dan dengarlah oleh kalian! Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.( QS. Al-Baqarah [2] : 104)

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Shahih Muslim bab fi annal-isnad minad-din no. 26)

Tentunya tidak hanya perspektif miring yang ditimbulkan hermeneutik kaitannya dengan pemaknaan text Al-quran,tetapi tidak sedikit pemikir muslim yang memberikan apresiasi positif terhadap hermeneutik kaitannya terhadap pemaknaan text Al-quran. Diantara pemikir-pemikir itu ialah Mouhamed Arkoun, Hasan Hanafi, Mouhamed Syahrur dll. Mereka berusaha mengawinkan metode hermeneutik dengan Al-Quran. Bagi syahrur sinonimitas terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam text Al-quran seperti al-kitab,al-Quran,al-Furqan,al-Dzikr yang selama ini ditafsirkan sebagai kitab suci umat Islam(hasil dari metode penafsiran pemikir terdahulu), berarti mereduksi istilah-istilah kunci yang terdapat dalam al-Quran. Demikian, salah satu produk dari pemikiran syahrur menggunakan metoda hermeneutik al-Quran(untuk lebih jelasnya bisa dibaca dalam bukunya Muhamad Syahrur yang berjudul Prinsif dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer yang ditulis oleh Muhamad Syahrur; penyusun tidak dapat lebih jelas membahas ini tentunya karena keterbatasan perangkat ilmu untuk memahaminya).

Penutup

Itulah dua perspektif yang dapat penyusun sajikan, bukan untuk membenarkan salah satu pandangan, tapi hanya menyajikan dua pandangan yag berbeda. Hal ini dikarenakan kapasitas penyusun yang masih dalam tahap belajar. Dua perspektip diatas bukan untuk kita hujat salah satunya tapi lebih kita pandang sebagai perbedaan yang membawa rahmat. Rahmat itu bisa berupa berkembangnya tradisi keilmuan dalam khajanah pemikiran umat Islam, sehingga kebangkitan Islam menjadi sebuah keniscayaan.

Referensi.

- fai.elcom.umy.ac.id

- QS. Al-Baqarah [2] : 104

- Syahrur, Muhamad. 2004, Prinsif dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer. Yogyakarta:Elsaq Press.

Tidak ada komentar: