Selasa, 23 Desember 2008

TAUHID DAN MAKNA PEMBEBASAN

Pendahuluan

Islam adalah satu-satunya agama yang dipandang dan diyakini oleh pasra pemeluknya memiliki konsep Tauhid yang paling sederhana dan paling murni. Oleh karenanya tafsiran-tafsiran terhadap konsep Tauhid ini begitu beragam. Tauhid juga digunakan okeh para filosof muslim terdahulu sebagai acuan produk filsafatnya ini bisa dicirikan dari hasil karya Ibnu Rushd yang ingin mensucikan Tuhan sesuci-sucinya/membbaskan Tuhan dari unsur makhluk, sehingga timbullah teori emanasi Ibnu Rushd. Tidak hanya itu konsep Tauhid juga dijadikan landasan pergerakan kaum peminis muslim untuk tidak tergantung pada kaum laki-laki(patiriarki).

Bisa kita lihat pengaruh Tauhid terhadap Pemikiran diatas ialah maknanya yang dapat membebaskan/membersihkan/mensucikan. Itulah makna umum yang terkandung dari konsep Tauhid. Baiklah, penyusun akan coba sajikan Tauhid seputar pemaknaannya menurut pendapat beberapa peneliti,pemerhati dan pengkaji. Penyusun akan coba sajikan produk pemikir yang mencoba mengkritisi pemikiran ulama terdahulu.

Pembahasan

Berikut ini adalah kutipan dari seorang pemikir muslim terhadap Tauhid:


”Firman Allah Ta'ala:

"Artinya : Orang-orang yang diseru oleh kaum musyrikin itu, mereka sendiri senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepadaNya), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya, sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." [Al-Isra': 57]

"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya; Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan menunjukiku (kepada jalan kebenaran)." [Az-Zukhruf: 26-27]

"Artinya : Mereka, menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka mempertuhankan pula) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka itu tiada lain hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan, tiada Sembahan yang haq selain Dia. Maha Suci Allah dari perbuatan syirik mereka." [At-Taubah: 31]

"Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..."[Al-Baqarah: 165]

Diriwayatkan dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."


Kandungan dalam tulisan ini:

[1]. Ayat dalam surah Al-Isra'. Diterangkan dalam ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang menyeru (meminta) kepada orang-orang shaleh. Maka, ayat ini mengandung sesuatu penjelasan bahwa perbuatan mereka itu syirik akbar.

[2]. Ayat dalam surah Bara'ah (At-Taubah). Diterangkan dalam ayat ini bahwa kaum Ahli Kitab telah menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan diterangkan bahwa mereka tiada lain hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan yaitu Allah. Padahal tafsiran ayat ini, yang jelas dan tidak dipermasalahkan lagi, yaitu mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah; dan maksudnya bukanlah kaum Ahli Kitab itu menyembah mereka.

Dapat diambil kesimpulan dari ayat ini bahwa tafsiran "Tauhid" dan Syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurnian ketaatan kepada Allah, dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.

[3]. Kata-kata Al-Khalil Ibrahim 'alaihissalam kepada orang-orang kafir: "Sesungguhnya aku melepaskan diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku..."

Disini beliau mengecualikan Allah dari segala sembahan. Pembebasan diri (dari segala sembahan yang bathil) dan pernyataan setia (kepada Sembahan yang haq, yaitu Allah) adalah tafsiran yang sebenarnya dari syahadat "Laa ilaha illa Allah." Allah Ta'ala berfirman: "Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya, supaya mereka kembali (kepada jalan kebenaran). (Az-Zukhruf: 28)

[4]. Ayat dalam surah Al-Baqarah yang berkenaan dengan orang-orang kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya: "Dan mereka tidak akan dapat keluar dari neraka."

Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa mereka menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan yang besar kepada Allah, akan tetapi kecintaan mereka itu belum bisa memasukkan mereka kedalam Islam. Dari ayat dalam surah Al-Baqarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa tafsiran "tauhid" dan syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurniaan kecintaan kepada Allah yang diiringi dengan rasa rendah diri dan penghambaan hanya kepada-Nya.

Lalu bagaimana dengan orang yang mencintai sembahan-nya lebih besar daripada kecintaannya kepada Allah? Kemudian, bagaimana dengan orang yang hanya mencintai sesembahan selain Allah itu saja dan tidak mencintai Allah?

[5]. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barang siapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."

Ini adalah termasuk hal terpenting yang menjelaskan pengertian "Laa ilaha illa Allah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan pula dengan mengakui kebenaran kalimat tersebut, bahkan bukan juga tidak meminta kecuali kepada Allah saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.

Sungguh agung dan penting sekali tafsiran "Tauhid" dan syahadat "Laa ilaha illa Allah" yang terkandung dalam hadits ini, sangat jelas keterangan yang dikemukakannya dan sangat meyakinkan argumentasi yang diajukan bagi orang yang menentang.

[Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H] ”

Bisa kita lihat tafsiran diatas ialah tafsiran yang menggunakan pendekatan Teologi. Yang berimplikasi pada harus murninya ibadah yang kita lakukan,dalam artian ibadah-ibadah mahdloh. Belum cukup tentunya Tauhid hanya berdimensi Ibadah Vertikal tetapi ada dimensi sosial. Olehk karenanya penyusun akan coba rangkum tulisan dari K.H husein Muhamad seputar Tauhid:

Kemerdekaan atau kebebasan dalam bahasa Arab disebut dengan al hurriyyah. Kata al hurr menurut al Raghib al Ishfahani mengandung dua arti, pertama adalah lawan dari budak dan kedua orang yang tidak dikuasai oleh sifat-sifat yang buruk dalam hal urusan duniawi.(Ashfahani, Mufradat Alfazh al Qur’an). Jadi kemerdekaan bisa menunjuk pada sesuatu yang bersifat material dan bisa immaterial. Sementara Syeikh Ali al Shabuni dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata al hurr berarti al khalish, bersih. Seseorang dikatakan hurr, jika dia terlepas atau bersih dari hal-hal yang mengotori kemanusiaannya”.(Al Shabuni, Rawai’ al Bayan, I/492). Kata al hurr disebut satu kali dalam surah al Baqarah, 178. Dari kata ini terbentuk kata al tahrir yang berarti pembebasan. Al-Qur’an menyebut kata ini dalam surah al Nisa, 92, al Maidah, 89 dan al Mujadilah, 3. Semuanya menekankan pembebasan budak. (tahrir al raqabah). Qasim Amin, tokoh feminis Mesir memberi judul buku monumentalnya dengan “Tahrir al Mar’ah” yang berarti pembebasan perempuan. Hizb al Tahrir berarti partai pembebasan.

Manusia menurut Islam adalah makhluk merdeka atau bebas pada satu sisi dan hamba pada sisi yang lain. Manusia menjadi makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya. Sementara ia adalah hamba ketika berada di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama disebut Abd Allah. Ini berarti bahwa manusia menjadi hamba atau budak hanya pada saat ia berhadapan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dan menjadi merdeka ketika berhadapan dengan manusia yang lain. Maka manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi manusia yang lain. Perbudakan manusia atas manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan. Dan manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan. Dengan begitu kemerdekaan manusia pada hakikatnya adalah konsekuensi paling logis dari ajaran atau doktrin teologi Islam yang disebut Tauhid.

Kehadiran agama Tauhid dengan sendirinya bermakna pembebasan sistem perbudakan manusia atas manusia dan pembebasan manusia dari situasi yang membelenggu dan yang menzalimi. Lebih jauh al-Qur’an menyebutkan : “yukhrijuhum min al Zhulumat ila al Nur” (Muhammad Saw, hadir untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya). Pernyataan Tuhan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memerdekakan atau membebaskan. Ini sesungguhnya ajaran paling inti dari setiap agama yang dibawa para nabi dan para pembawa misi kemanusian yang lain.

Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya dan karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. Keyakinan Islam ini dipraktikkan dengan tegas oleh Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua sesudah Nabi Muhammad Saw. Ketika Abdullah, anak Gubernur Mesir ; Amr bin Ash memukul seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan : “mundzu mata ista’badtum al naas wa qad waladathum ummahatuhum ahraara” (sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka). Umar kemudian mempersilakan si petani miskin tersebut membalasnya memukul.

Kemerdekaan diberikan Tuhan kepada manusia, karena ia diberi akal. Akal adalah essensi manusia yang membedakannya dari makhluk Tuhan yang lain. Dan, karena itu, kepadanyalah Tuhan menyerahkan pengaturan dan pengelolaan dunia ini. Al-Qur’an menyebut manusia sebagai Khalifah-Nya di muka bumi. Kemerdekaan manusia meliputi kebebasan beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikan pemikirannya, kemerdekaan untuk bereksistensi dan beraktualisasi, kemerdekaan untuk berproduksi dan bereproduksi secara sehat. Ini semua adalah hak-hak fundamental manusia, apapun jenis kelaminnya dan apapun latarbelakang sosio-kulturalnya. Hal ini berarti bahwa seseorang, laki-laki maupun perempuan, tidak boleh dibatasi untuk mengekspresikan kebebasannya untuk menjadi apa dan melakukan apa saja yang dipilihnya dalam kehidupannya.

Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa beragam kemerdekaan yang diperoleh manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Dengan kata lain tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan, pengekangan dan perendahan adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri dan dengan sendirinya juga melanggar prinsip keesaan Tuhan. Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi keniscayaan pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab adalah dua sisi mata uang. Kemerdekaan seseorang selalu dibatasi oleh kemerdekaan orang lain dan oleh keterbatasan dirinya. Dari sinilah, maka setiap orang dituntut harus saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan dari kemerdekaan yang dimilikinya itu. Dari sini tampak logis pula bahwa kemerdekaan atau kebebasan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan satu atas yang lain.”

Penyusun sendiri berkeyakinan bahwa ber-Tauhid berarti juga menjadi manusia bebas. Bebas disini bukan berarti bebas berkonotasi negatif, bebas disini berarti tidak tergantung pada sesuatu yang fana. Bebas disisni juga mengandung pengertian hanya bergantung pada Tuhan yang esa. Kebebasan hakiki seorang makhluk ialah ketergantungan mutlak tehadap sang khalik. Keyakinan inilah yang sampai saat ini peyusun yakini.

Oleh karenanya praktek-praktek sosial yang dapat membuat kreatifitas kita terhambat patut ditinggalkan. Seperti terlalu rigid dan kakunya hubungan antara Guru dengan siswa. Makna seorang siswa ialah penuntut ilmu justru telah bergeser menjadi orang yang dipaksa mewadahi ilmu. Kata menuntut ilmu jelas berbeda dengan orang yang dipaksa mewadahi ilmu. Pada istilah pertama memiliki makna aktif-subjek sedangkan istiklah berikutnya memiliki makna pasif-objek. Bila kita mau mengikuti perkembangan wacana pemikiran kontemporer akan ditemukan bahwa pola-pola sikap seperti ini bermuara pada salah satunya ajaran Al-Ghazali mengenai aturan hubungan antara murid dengan guru. Penyusun akan kutip terlebih dahulu ajarannya:

“merupakan suatu keharusan bagi seorang murid untuk minta petunjuk atau bantuan kepada seorang guru yang dapat membimbingnya kejalan yang benar. Olehkarena jalan menuju kebenran (agama yang benar adalah sulit, sedang jalan menuju kejahatan setan) adalah beraneka agamdan gampang, maka bagi siapa saja yang tidak mempunyai guru yang dapat membimbingnya kejalan yang benar, dia akan dengan mudah dibimbing setan ke jalan kesesatan. Oleh karena itu, seorang murid harus setia kepada seorang gurunya seperti sibuta setia terhadap tongkat penunjuk jalannya di seberang sungai. Dia harus benar-benar percaya terhadap gurunya tidak boleh menentangnya dalam hal apappun lagipula dia harus berjanji pada dirinya sendiri untuk benar-benar mengikuti ajarannya secara mutlak. Hendaknya dia bahwa keuntungan yang dapat diperolehdari tindak perilaku gurunya yang salah adalah lebih besar manfaatnya bagi kehidupannya,daripada manfaat yang dapat ia peroleh dari kebenaran yang ia temukan sendiri.”

Dari kutipan diatas bisa kita pahami bukan saja daya kreatifitas murid yang tumpul, tapi juga inisiatif, etos kerja. Menurut Dr. M. Amin Abdullah begitu besar dan dominannya peran guru spiritual itu membuat sufisme menjadi benar-benar pemujaan terhadap manusia, hal ini jelas-jelas mengotori Tauhid.

Penutup

Tulisan diatas yang penyusun sajikan baik itu yang dikutif maupun hasil dari komentar penyusun terhadap kutipan tidak lepas dari pemahaman penyusun yang terbatas terhada Tauhid dan Makna Pembebasan. Tapi meskipun begitu penyusun ingin sampaikan bahwa wacana pembebasan ini akan tetap aktual sampai kapan pun, karena keterbelungguan selalu menjelma dalam beragam wujudnya.

DAFTAR PUSTAKA

- Abdullah, Amin.1995M, Falsafah Kalam di Era Postmodern.Yogyakarata: Pustapelajar.

- www.rahima.or.id

- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. 1418H, "Kitab Tauhid".
Riyadh: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam.

Tidak ada komentar: